Senin, 02 Mei 2016

Tuesdays With Morrie - Mitch Albom

Judul: Tuesdays With Morrie (Selasa Bersama Morrie)
Penulis: Mitch Albom
Tebal buku: 209 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 979-222-0461
Genre: Memoar, Semi-biography, philosophy


Sinopsis
Bagi kita mungkin ia sosok orang tua, guru, atau teman sejawat. Seseorang yang lebih berumur, sabar, dan arif, yang memahami kita sebagai orang muda penuh gelora, yang membantu kita memandang dunia sebagai tempat yang lebih indah, dan memberi tahu kita cara terbaik untuk mengarunginya. Bagi Mitch Albom, orang itu adalah Morrie Schwartz, seorang mahaguru yang pernah menjadi dosennya hampir dua puluh tahun yang lampau.

Barangkali, seperti Mitch, kita kehilangan kontak dengan sang guru sejalan dengan berlalunya waktu, banyaknya kesibukan, dan semakin dinginnya hubungan sesama manusia. Tidakkan kita ingin bertemu dengannya lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar yang masih menghantui kita, dan menimba kearifan guna menghadapi hari-hari sibuk kita dengan cara seperti ketika kita masih muda?

Bagi Mitch Albom, kesempatan kedua itu ada karena suatu keajaiban telah mempertemukannya kembali dengan Morrie pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Keakraban yang segera hidup kembali di antara guru dan muris iu sekaligus menjadi sebuah "kuliah" akhir: kuliah tentang cara menjalani hidup. Selasa Bersama Morrie menghadirkan sebuah laporan rinci luar biasa seputar kebersamaan mereka.

***

Selasa Bersama Morrie adalah sebuah buku memoar best seller karangan Mitch Albom yang telah terjual lebih dari 15 juta jilid dalam lebih dari 50 edisi di seluruh dunia. Buku ini berisi pelajaran-pelajaran hidup penulis bersama, Morrie Schwartz seorang profesor dari Brandeis University di kota Waltham, Massachusetts. Tujuan Mitch Albom pada awalnya membuat buku ini adalah untuk membantu pembayaran biaya pengobatan Schwartz ketika dia terjangkit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ASL), sebuah penyakit ganas yang menyerang sistem saraf.

Hari demi hari, penyakit itu semakin menggerogotinya. Makin lama ia sudah tidak bisa lagi menggerakkan anggota tubuhnya. Morrie paham betul bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, tapi ia tidak ingin sisa hidupnya sia-sia, maka ia mengambil keputusan untuk menceritakan pengalaman hidupnya selama perjalanan menuju kematian dengan cara mengisi sesi wawancara dengan Ted Koppel (pembawa acara Nightline di ABC TV) di rumahnya.

Suatu hari, Mitch Albom, seorang mahasiswa Brandies University yang pernah berjanji pada sang profesor favoritnya, Morrie Schwartz, yang biasa ia panggil "Coach" akan tetap saling kontak setelah lulus dari universitas tetapi tidak menapatinya melihat acara yang menanyangkan Morrie di televisi. Dari situ ia mengetahui keadaan profesornya itu saat ini dan berniat mengunjunginya.

Kunjungan tersebut ternyata membawa Mitch Albom menjalani kuliah terkahir bersama Morrie. Kuliah itu disepakati dilakukan setiap hari Selasa. Judulnya "Makna Hidup...

***

ISI CERITA

1. Kondisi Kesehatan Morrie
Seperti yang sudah dijelaskan di awal, pada tahun 1994, Morrie Schwartz menderita penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ASL), yaitu penyakit yang menyerang sistem saraf. Ia terkena asma di usia enam puluhan. Bahkanbernapas pun menjadi sangat sulis baginya. Suatu hari, ketika ia sedang berjalan-jalan di tepi Sungai Charles, angin dingin yang menerpanya membuat merasa tercekik. Segera setelah itu, ia dilarikan ke rumah sakit.

Beberapa tahun kemudian, ia mulai sulit berjalan. Dalam sebuah pesta ulang tahun temannya, ia jatuh entah kenapa. Ia juga pernah jatuh di tangga teater. Semenjak itulah Morrie mulai memeriksakan keadaan dirinya dan divonis menderita penyakit tersebut.

Seiring dengan keputusannya untuk mengisi sebuah acara televisi dan berbicara tentang hidupnya, lalu pertemuan setiap Selasa dengan Mitch, serta menerima kunjungan-kunjungan dari orang-orang yang ingin bertemu dengannya, keadaan Morrie kian hari kian memburuk.

Kali pertama Mitch bertemu dengannya jemarinya masih bisa bergerak dan memegang pensil dan tangannya masih bisa diangkat setinggi dada. Tapi selain itu kakinya sudah tidak bisa ia gerakkan sehingga ia harus pergi ke toilet dengan seseorang yang mengangkatnya dari kursi dan memeganinginya sewaktu ia buang air kecil ke dalam sebuah pispot, setelah itu ia pasti tampak lelah.

Di rumahnya, Morrie mengurangi waktu untuk berada di dapur atau ruang tengah dan lebih banyak berada di ruang kerjanya, karena di situ ada sebuah kursi santai besar yang dilengkapi dengan bantal, selimut, dan beberapa poting karet busa yang dicetak secara khusus untuk menahan kakinya dan menyangga pahanya yang terus melemah.

Ia menyediakan sebuah lonceng di dekatnya, dan setiap kali ia ingin agar posisi kepalanya diubah atau ingin ke kemar kecil ia akan membunyikan lonceng, maka para tenaga yang bertugas merawatnya akan segera datang.

Suatu hari, di Selasa keempat, saat Mitch datang, ia melihat sebuah perlengkapan tambahan di rumah Morrie, yaitumesin oksigen. Pada malam hari, kalau tidak mendapat cukup udara untuk dihirup, Morrie akan memakai mesin tersebut. Bersamaan dengan itu gerakan mengangkat tangannya sudah mulai gemetar dan tak sekuat sebelumnya.

Di Selasa Keenam keadaan Morrie semakin buruk lagi. Ia batuk lebih lama dari biasanya, batuk kering yang mengguncang-guncang dadanya dan membuat kepalanya tersentak-sentak ke depan bahkan ia sampai setengah tersedak. Setelah mereda ia berkata bahwa ia tidak ingin mati dalam keadaan batuk seperti tadi, ia tidak ingin meninggal dalam rasa takut. Ia ingin mengetahui semua yang terjadi, menerimanya, merasakan kedamaian, baru pergi.

Pada selasa yang berikutnya Morrie sudah mulai diceboki oleh perawatnya. Dan Selasa berikutnya lagi Morrie tampak semakin meleleh ke dalam kursi duduknya, tulang punggungnya mulai tidak mampu mempertahankan bentuknya. Namun setiap pagi ia bersikeras minta diangkat dari tempat tidurnya, didorong ke kamar baca, duduk di sana diantara buku-buku dan makalah-makalahnya.

Di Selasa kesepuluh, saat Mitch datang bersama istrinya Janine, kondisi Morrie semakin tidak baik. Sekarang ia memerlukan oksigen hampir sepanjang malam, dan serangan batuknya semakin mengerikan. Sekali batuk menyerang lamanya bisa satu jam, dan ia tak pernah tahu kapan batuk itu akan berhenti. Ia selalu berkata bahwa maut akan menjemputnya begitu penyakit mencapai paru-parunya.

Mitch terkadang membantu memukul punggung Morie untuk mengeluarkan cairan dair paru-parunya, yang perlu dilakukan secara teratur, agar tidak sampai menjadi padat dan menyumbat pernapasan. Laa kelamaan morrie tidak bisa lagi pergi ke kamar mandi bahkan sekadar turun dari tempat ttidurnya. Di kamarnya terdapat kantung kateter yang terhubung lewat selang plastik pada bagian dalam tubuhnya, yang terisi dengan cairan air seni berwarna kehijauan dan ia akan buang air besar dimanapun ia berada Tapi keadaan itu tidak membuat Mitch jijik sama sekali.

Malam-malam berikutnya Morrie hanya sempat tidue selama beberapa jam sebelum serangan batuk yang dahsyat menyerangnya, kemudian perawat akan datang ke kamarnya dan membantunya bernapas normal kembali dengan bantuan mesin oksigen. Saat Mitch datang lagi, selang oksigen sudah terpasang pada hidung Morrie. Morrie berkata bahwa suatu malam selesai berjam-jam batuk hebat ia merasa pening, kemudian ia merasakan suatu kedamaian, dan ia merasa bahwa saat kepergiannya sudah tiba.

Di Selasa keempat belas, konidisi Morrie sudah sampai pada tahap yang paling buruk. I diberi morfin untuk memudahkannya bernapas. Tubuhnya begitu kering dan menciut sehingga rasanya ada sesuatu yang hilang. Tubuhnya seperti tubuh seorang anak kecil. Kulitnya pucat dan menempel kencang pada tulang pipiya. Ia sudah tidak dapat berbicara dan hanya melenguh lemah berbisik. Hari itu mereka mengucapkan kata perpisahan sambil menangis dan Mitch berjanji akan datang lagi Selasa depan akrena kondisi Morrie sangat tidak sehat.

Tapi Morrie ternyata meninggal sebelum Selasa depan, ia meninggalkan duni pada hari Satu pagi tanggal 4 November. Morrie memasuki keadaan koma dua hari setelah kunjungan Mitch yang terakhir, dan doktr mengatakan bahwa ia dapat meninggal pada hari itu juga. Tapi, ia masih bertanahan, melewati satu siang, dan satu malam lagi. ia meninggal ketika orang-orang meninggalkannya sebentar untuk mengambil kopi hangat di dapaur--pertama kalinyaia ditinggalkan sejak situasi koma dimulai.


2. Kuliah Setiap Selasa
Pada awal kedatangan Mitch ke rumah Morrie, Morrie bertanya padanya, "Bolehkah aku bercerita tentang bagaimana rasanya keadaan seperti ini?" Mitch bertanya apakah itu tentang bagaimana rasanya mau mati? Mulai saat itu walaupun Mitch tidak menyadarinya, kuliah terakhir mereka baru saja dimulai.

Kuliah itu disepakati dilakukan setiap hari Selsa. Judulnya Makna Hidup. Bahan-bahannya digali dari pengalaman Morrie. Tiap Selasa mereka membahas topik yang berbeda-beda, bicara tentang dunia, mengasihani diri sendiri, penyesalan diri, kematian, keluarga, emosi, takut menjadi tua, uang, cinta yang tak padam, perkawinan, budaya, maaf, hari yang aling baik, dan Selasa terkahir mereka saling mengucapkan kata perpisahan.

Di bab-bab Selasa ini, semua hal yang dikatakan oleh Morrie akan membuat kita merenung. Sering kita jumpai banyak orang yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menangisi diri sendiri, alangkah baiknya bila orang dapat menahan diri untuk tidak menangisi diri berkepanjangan. Morrie berkata bahwa ia merasa ngeri melihat bagaimana tubuhnya perlahan-lahan mulai kehilangan fungsi-fungsinya, tapi tetap ia merasa tak banyak orang yang seberuntung dia. Nah coba pikirkan kalau Morrie saja sanggup tegar pdahal ia menderita penyakit yang sangat mengerikan, kenapa kita yang sehat tidak mampu?

Kemudian tentang keluarga, Morrie berkata selain keluarga, tidak ada pondasi, tiak ada landasan kokoh, yang memungkinkan manusia bertahan sampai saat ini. Peran keluarga menjadi sangat jelas sekali saat Morrie jatuh sakit. Tanpa dukungan, cinta,kasih sayang, dan perhatian yang kita peroleh dari keluarga, kita seperti tidak memiliki apapun. Nah di bab ini ada kuot bagus, "Saling mencintai, atau punah dari muka bumi."

"Maafkan dirimu sendiri sebelum kau mati. Baru kemudian memaafkan orang lain." adalah kalimat yang diucapkannya beberapa hari menjelang waawncara "Nightline". Kadang banyak hal yang kita tidak lalkukan padahal seharusnya kita dapat melakukannya jika kita mau. Hal itu biasanya membuat kita merasa menyesal dan seringkali menyalahkan diri sendiri. Di bab ini Morrie bercerita tentang penyesalannya karena tidak memberi maaf pada sahabat lamanya yang kini telah meninggal dunia. hal itu membuat Mitch merasa bersalah.

3. Wisuda
Wisuda yang dimaksud si sini berarti Kuliah Selasa Morrie dengan Mitch telah selesai. Morrie meninggal dunia pada hari Sabtu, setelah koma dua hari dan setelah kunjungan Mitch yang terakhir.

Pada hari pemakaman, keluarga terdekat Morrie telah berkumpul di rumahnya. Rob-anaknya-sengaja datang dari Tokyo dan sempat memberi ucapan selamat jalan kepada Morrie, juga Jon, dan tentu saja Charlotte-istri Morrie. Sepupu Charlotte, Marsha, menuliskan sebuah puisi. Sebuah puisi yang sangat menyentuh hati Morrie, puisi yang menggambarkannya sebagai sebatang pohon.

"My father moved through theys of we,
Singing each new leaf out of each tree
(And every child was sure that spring
Dance when she heard my father sing)..."

-Sebuah puisi karya E.E Cumming

***

Novel ini ber quote kehidupan yang jelas alau diresapi bikin meleleh. Diceritakan dengan alur maju-mundur ditandai dengan huruf cetak miring tentang maa lalu.

Ini dia rangkaian silabus kuliah terakhir setaip selasa yang didapat oleh Mitch:

The First Tuesday: Talk About the world
The Second day: Talk About Feeling Sorry for your self
The third Tuesday: Talk About Regrets
The Fourth Tuesday: Talk About Death
The Fifth Tuesday: Talk About Family
The Sixth Tuesday: Talk About Emotions
The Seventh Tuesday: Talk About the Fear of Aging
The Eight Tuesday: Talk About Money
The Ninth Tuesday: Talk About How Love Goes On
The Tenth Tuesday: Talk About Marriage
The Elevent Tuesday: Talk About Our Culture
The Twelfth Tuesday: Talk About Forgiveness
The Thirteenth Tuesday: Talk About the Perfect Day
The Fourteenth Tuesday: Say Good bye


***


Diskusi Buku Bulanan adalah salah satu program online yang ada di Klub Buku Surabaya. Setiap bulan member diwajibkan membaca satu judul buku yang sudah disepakati bersama. Diskusi akan dipandu oleh moderator yang telah bersedia.

Terima kasih untuk moderator buku ini, Ani dan Fia. Terima kasih juga untuk teman-teman Klub Buku Surabaya yang sudah aktif berdiskusi selama sesi berlangsung.




selesai.

*ditulis ulang dari naskah moderator dengan perubahan sesuai kebutuhan dan seizin pemilik naskah